The believers are but brothers, so make settlement between your brothers. And fear Allah that you may receive mercy. QS. Al-Hujurat [49]: 10. Welcome to The World of Islamic Portal. Dr. D.S. Merchant. Once a great philosopher Aesop said “united we stand, divided we fall”. Website : http://www.universal-brotherhood.com/
Minggu, 18 Mei 2014
= Pelatihan ustaz baik bagi Jerman dan Islam
http://www.commongroundnews.org/article.php?id=31586&lan=ba&sp=0
Pelatihan ustaz baik bagi Jerman dan Islam
oleh Lewis Gropp
22 Juni 2012
Cetak
Email
Koln, Jerman - Dua tahun lalu, mantan Presiden Jerman Christian Wulff menyatakan bahwa Islam adalah bagian dari Jerman, sehingga menimbulkan kehebohan di kelompok yang lebih konservatif dari pengikutnya di partai Uni Demokratik Kristen. Lalu, awal tahun ini, presiden baru Jerman Joachim Gauck, bersikukuh menyatakan bahwa Muslim adalah bagian dari Jerman tapi tidak menyatakan bahwa Islam sudah menjadi bagian dari Jerman.
Namun, dengan adanya lebih dari 4 juta orang Jerman Muslim, dan prinsip kebebasan beragama termaktub dalam konstitusi Jerman, bagaimana mungkin Islam bukan bagian dari Jerman?
Di belakang layar, langkah-langkah penting tengah diambil secara kelembagaan untuk membuat Islam menjadi bagian dari Jerman yang lebih terintegrasi. Dua tahun lalu, Dewan Sains dan Humaniora Jerman merekomendasikan teologi Islam diajarkan di universitas-universitas Jerman, bersamaan dengan pelatihan bagi para ustaz dan guru agama. Ini adalah sebuah langkah penting menuju pembentukan sebuah Islam Jerman yang otentik – yang menunjukkan bahwa budaya Jerman dan identitas Muslim tidak perlu berseberangan.
Dan di seluruh Jerman, anak muda Muslim saat ini sedang menjelaskan bagaimana Islam sudah menjadi bagian di Jerman dan bagaimana bisa terus menjadi bagian di masa mendatang.
Misalnya, Sineb El Masrar, perempuan Jerman keturunan Maroko, mendirikan Gazelle, sebuah majalah untuk para perempuan Jerman dari banyak latar belakang budaya. Nimet Seker, seorang perempuan Jerman keturunan Turki baru-baru ini meluncurkan Horizonte, sebuah majalah untuk debat intelektual mengenai isu-isu yang terkait dengan Muslim di Jerman. Sementara itu, filsuf dan penyair kelahiran Afghanistan, Ahmad Milad Karimi, mendapat banyak pujian atas terjemahan Quran-nya ke bahasa Jerman.
Pada 2006, para pembuat kebijakan Jerman mendirikan Konferensi Islam Jerman untuk mendorong kerjasama antara negara Jerman dan Muslim. Konferensi ini mengisyaratkan bahwa orang Jerman Muslim semestinya merasa nyaman di Jerman – baik sebagai Muslim maupun sebagai orang Jerman.
Perdebatan tentang budaya, agama dan identitas Muslim begitu hidup di kalangan anak muda Muslim, dan program pelatihan baru bagi para ustaz memainkan peran sentral dalam wacana ini.
“Mengingat fakta bahwa Muslim telah tinggal di sini selama 50 tahun, ini sebuah keputusan yang sangat disambut baik,” kata Bülent Ucar, guru besar pendidikan agama Islam Universitas Osnabrück.
Pada 1945, sekitar 6.000 Muslim tinggal di Jerman. Sekarang jumlahnya lebih dari empat juta, dan sekitar dua pertiganya berasal dari Turki atau keturunan Turki karena adanya kesepakatan tentang pekerja asing yang ditandatangani oleh Turki dan Jerman pada 1961. Sekitar 55 persen dari semua Muslim di Jerman berkewarganegaraan Jerman.
Dari lebih dari 2.000 ustaz aktif di Jerman, 80 persennya berasal dari Turki. Karena para ustaz ini tidak banyak tahu tentang bahasa Jerman dan budaya Jerman, dan umumnya berasal dari kalangan yang memahami Islam secara konservatif, kerja mereka di masyarakat sering kali menjadi penghalang bagi integrasi warga Muslim. Sulit bagi mereka untuk mengerti isu-isu yang dihadapi Muslim yang sudah mapan di Jerman.
“Sudah mendesak waktunya bagi para guru agama, ustaz dan teolog Muslim untuk dididik di sini di Jerman. Kini kajian Islam juga diajarkan di universitas – di samping perkuliahan kajian Yahudi, Protestan dan Katolik,” Ucar mengungkapkan.
Tantangan utama program-program ini adalah mengombinasikan ajaran Islam dengan standar akademik dan pendidikan di Barat. Menjadikan teologi Katolik dan Protestan sebagai mata kuliah di Jerman telah menumbuhkan kreativitas dan otokritik dalam kajian teologi Kristen, dan proses ini memberikan contoh relevan bagi teologi Islam.
“Saya tak yakin kami akan mendapatkan pujian dunia atas apa yang sedang kami lakukan, namun ini tentu akan memicu perdebatan,” kata Profesor Mathias Rohe, pakar studi syariat yang paling terkemuka di Jerman yang juga membantu menyiapkan program teologi Islam di universitas. Dengan menyediakan lingkungan akademik yang profesional bagi pengembangan pemikiran dan teologi Islam, akan ada jalan baru bagi orang Jerman Muslim untuk ambil bagian dalam perdebatan intelektual global tentang masa lalu, masa kini dan masa depan Islam.
Di empat Institut Teologi Islam yang baru saja didirikan, para mahasiswa memperdebatkan berbagai tema seperti teologi Islam feminis, penelusuran para teolog Islam awal yang terlupakan, kajian historis kritis terhadap manuskrip-manuskrip Quran, atau peran bahasa, aksara dan akal dalam penafsiran Quran dan hadis Nabi.
Kendati sebelumnya ada berbagai rintangan pendidikan bagi anak muda Muslim Jerman yang belajar menjadi pemuka agama, kini ada generasi baru mahasiswa Muslim di Jerman yang percaya diri, terlatih dan bersemangat untuk menemukan kembali tradisi dan mazhab Islam yang toleran dan pluralis, dan karenanya juga, meredefinisi kembali apa artinya menjadi Muslim di Eropa abad ke-21.
Selain itu, dengan memberi tahu publik Jerman – selaku imam masjid, guru sekolah, profesor atau bahkan analis media – bagaimana Islam dan demokrasi bisa bergandengan, mereka akan menunjukkan bahwa Islam adalah benar-benar bagian dari Jerman.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar